Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Permohonan Itsbat nikah di Pengadilan Agama

Isbat nikah berasal dari dua suku kata dalam bahasa Arab yaitu isbat dan nikah. Kata isbat berasal dari bahasa Arab asbata-yasbitu-isbatan yang berarti penentuan atau penetapan. Istilah ini kemudian diserap menjadi istilah kata dalam bahasa Indonesia. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata isbat diartikan dengan menetapkan yaitu berupa penetapan tentang kebenaran (keabsahan) atau menetapkan kebenaran sesuatu. 

Isbat nikah menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau PPN (Pegawai Pencatat Nikah) yang berwenang. Isbat nikah juga mengandung arti suatu metode atau cara dalam menetapkan sahnya suatu perkawinan yang belum tercatat di Kantor Urusan Agama setempat, sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan hal perkawinan yang dilaksanakan di pengadilan. 

Buku Pedoman Teknis Administrasi Peradilan Agama Tahun 2013 menjelaskan bahwa isbat nikah adalah pernyataan tentang sahnya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan tidak dicatat oleh PPN yang berwenang.

Lebih lanjut Buku II Pedoman Teknis Administrasi Peradilan Agama Tahun 2013 menjelaskan tentang dasar hukum dan prosedur itsbat nikah sebagai berikut:

1. Itsbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian tidak dibuat secara tersendiri, melainkan menjadi satu kesatuan dalam putusan perceraian.

2. Untuk menghindari adanya penyelundupan hukum dan poligami tanpa prosedur, Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah harus berhati-hati dalam menangani permohonan itsbat nikah.

3. Proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan pengesahan nikah / itsbat nikah harus memedomani hal-hal sebagai berikut:

  1. Permohonan itsbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami isteri atau salah satu dari suami isteri, anak, wali, nikah dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah dalam wilayah hukum Pemohon bertempat tinggal, dan permohonan itsbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit.
  2. Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh kedua suami isteri bersifat voluntair, produknya berupa penetapan. Jika isi penetapan tersebut menolak permohonan itsbat nikah, maka suami dan isteri bersama-sama atau suami, isteri masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi.
  3. Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontensius dengan mendudukkan isteri atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.
  4. Jika dalam proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah dalam angka (2) dan (3) tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka isteri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika Pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan isteri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
  5. Permohonan itsbat nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan harus bersifat kontensius, dengan mendudukkan suami dan isteri dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon.
  6. Suami atau isteri yang telah ditinggal mati oleh isteri atau suaminya, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah secara kontensius dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi.
  7. Dalam hal suami atau isteri yang ditinggal mati tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya maka permohonan itsbat nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan. Apabila permohonan tersebut ditolak, maka Pemohon dapat mengajukan upaya hukum kasasi.
  8. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (2) dan (6), dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah yang memutus, setelah mengetahui ada penetapan itsbat nikah.
  9. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan (5), dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah yang memeriksa perkara itsbat nikah tersebut selama perkara belum diputus.
  10. Pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan (5), sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah, dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah tersebut.
  11. Ketua Majelis Hakim 3 (tiga) hari setelah menerima PMH, membuat PHS sekaligus memerintahkan jurusita pengganti untuk mengumumkan permohonan pengesahan nikah tersebut 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pengumuman pada media massa cetak atau elektronik atau sekurang-kurangnya diumumkan pada papan pengumuman Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah.
  12. Majelis Hakim dalam menetapkan hari sidang paling lambat 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman. Setelah hari pengumuman berakhir, Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang.
permohonan isbat nikah di pengadilan agama